Rachmat Kriyantono, PhD
Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Komunikasi
Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya
Publikasi dan jenjang karir profesi
Mempublikasikan paper secara internasional adalah perlu bagi setiap dosen, yang merupakan pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan iptek melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Setiap dosen ditantang bukan hanya memproduksi karya-karya ilmiah, tetapi juga dituntut mendiseminasikan karya-karya tersebut. Hanya dengan diseminasi karya ilmiah, ilmu pengetahuan dapat berkembang. Hal ini juga tercantum di berbagai regulasi (UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen pasal 60; UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi pasal 4; Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara no 17/2013 tentang Jabatan Fungsional dan Angka Kredit Dosen pasal 7). Agar dapat memenuhi tujuan pendidikan tinggi (pasal 5 UU No 12/2012), maka dosen diwajibkan menyebarluaskan karya-karya tersebut dalam publikasi ilmiah (pasal 12 UU No 12/2012; dan pasal 49 UU No 5/2014). Jenis publikasi ilmiah ini, menurut pasal 8 Permenpan No 17/2013, dapat berbentuk buku referensi, buku ajar, monograf, artikel di media massa, dan jurnal ilmiah nasional dan internasional.
Kewajiban membuat dan menyebarluaskan karya ilmiah juga menjadi instrumen menentukan jenjang karir dosen (Permenpan No 46/2013 dan Permenpan No 17/2013), seperti kenaikan jabatan akademik dosen menjadi Lektor (senior lecture), Lektor Kepala (associate professor), dan Guru Besar (professor) harus memiliki publikasi jurnal nasional akreditasi dan atau internasional bereputasi. Peluang loncat jabatan pun terbuka dengan syarat wajib mempunyai jurnal internasional bereputasi.
Terbaru, Permenristekdikti no 20/2017 tentang pemberian tunjangan profesi dosen dan tunjangan kehormatan profesor mengatur bahwa dosen yang Lektor Kepala harus menghasilkan minimal tiga publikasi jurnal nasional terakreditasi atau satu jurnal internasional dalam kurun tiga tahun sebagai syarat turunnya tunjangan. Profesor harus mempunyai publikasi minimal tiga di jurnal internasional atau satu di jurnal internasional bereputasi dalam waktu tiga tahun untuk mendapat tunjangan.
Aturan yang baru ini memunculkan pro dan kontra dari para dosen. Pencabutan tunjangan profesi dinilai sangat memberatkan karena kinerja dosen bukan hanya publikasi, tetapi masih ada tugas-tugas Tri Dharma lainnya. Sanksinya mestinya bukan pencabutan, tetapi hanya pengurangan tunjangan profesi. Aturan publikasi ini dinilai memberatkan dosen karena mahalnya biaya publikasi jurnal internasional dan dapat menutup rezeki bagi dosen. Namun, tidak sedikit dosen yang memandang aturan ini secara positif. Mereka menilai aturan ini dapat menstimuli publikasi para dosen yang memang masih sedikit karena dosen masih terjebak dengan rutinitas di kampus, khususnya mengajar dan terbebani memenuhi standar beban kerja dosen.
Setiap aturan dimungkinkan tetap mengandung kekurangan. Kritik dan keberatan dosen perlu diakomodasi dan diberikan solusi terbaik dari pemerintah. Seiring dengan itu, penulis mengajak sejawat dosen untuk tidak terpaku mempersoalkan kekurangan aturan, yakni dengan melihat aspek positif aturan baru ini. Implikasi kewajiban publikasi karya ilmiah adalah bagian dari tantangan mengasah diri demi kualitas pengembangan ilmu. Publikasi karya ilmiah sebagai syarat kenaikan jabatan akademik dan tunjangan dosen dapat dilihat sebagai reward agar dosen lebih bersemangat menjalankan amanat pokok profesinya, yakni pengembangan ilmu. Melalui karya ilmiah, dosen dapat membangun budaya akademik yang baik, seperti terbiasa melakukan critical thinking, melakukan riset dengan baik, kemampuan analisis dan solusi, kemampuan beragurmen dengan baik serta menguasai teknik menulis ilmiah.
Membangun reputasi, jejaring, dan daya saing bangsa
Publikasi di jurnal internasional merupakan alat membangun reputasi individu dosen dan universitas tempat dosen itu mengabdi. Dengan bantuan internet, artikel yang dimuat dapat dibaca dan diisitasi akademisi di dunia. Artikel yang disitasi diartikan telah mengandung konten yang layak secara ilmiah sebagai sumber kebenaran pengembangan keilmuan. Dosen yang karya ilmiahnya banyak disitasi akan mendapatkan h-index yang tinggi, yang menjadi indikator pengakuan dunia akademik terhadap eksistensi dan kualitasnya.
Publikasi di jurnal internasional membuka peluang membangun kerjasama dan network dengan ilmuwan lain, dari dalam dan luar negeri. Networking dapat terjadi dengan mengajak ilmuwan lain berkolaborasi menghasilkan karya ilmiah atau ketika ilmuwan lain mem-follow up karya kita melalui kontak email dan menawarkan riset bersama.
Publikasi ilmiah di jurnal internasional juga membuka peluang mendapatkan penghargaan (noble winning), beasiswa, dan funding. Kemristekdikti dan perguruan tinggi memberikan insentif untuk artikel yang terbit di jurnal internasional. Beberapa perguruan tinggi telah mensyaratkan mahasiswa program Magister dan Doktor untuk mempublikasikan risetnya sebagai syarat kelulusan atau ikut ujian tesis/disertasi. Riset tesis atau disertasi yang diolah untuk dimuat di jurnal internasional dianggap telah mengandung konten yang layak secara ilmiah sehingga menjadi peluang dosen untuk menjadi bagian dari publikasi karya ilmiah karena aktif membimbing.
Banyaknya publikasi internasional telah menjadi indikator kemampuan daya saing bangsa di level dunia. Ada relasi antara produktivitas publikasi dengan kondisi ekonomi suatu negara, yakni negara-negara yang ekonominya baik ternyata memiliki jumlah publikasi internasional yang tinggi (Pratomo, 2015), dan produktivitas publikasi menjadi indikator daya saing di bidang riset dan pendidikan (Jayanegara, 2015).
Publikasi internasional membuka peluang para dosen untuk mengembangkan dan menyosialisasikan ilmu pengetahuan berbasis perspektif lokal. Saat ini pengembangan teori masih didominasi oleh ilmuwan Amerika Serikat dan beberapa negara barat di Eropa (Ayish, 2003; Sriramesh & Vercic, 2003). Padahal, Indonesia dan negara-negara Timur (Asia) memiliki karakter sosial budaya yang khas, yang tidak sepenuhnya sama dengan karakter negara-negara Barat (Gunaratne, 2009; Littlejohn & Foss, 2008) yang mempengaruhi pengembangan teori-teori (McQuail, 2000). Kurangnya kajian dalam konteks Indonesia menyulitkan ilmuwan Barat mendapatkan literatur kajian dalam perspektif Indonesia (Hobart, 2006).
Sebagai contoh kajian Ilmu Komunikasi, gagasan tentang studi komunikasi dari perspektif Asia telah meningkat akhir-akhir ini (Dissayanake, 1988; Gunaratne, 2009; Kriyantono, 2014; Littlejohn & Foss, 2008; Raharjo, 2013). Cina, Jepang, India dan Korea Selatan, telah berhasil memunculkan teori komunikasi Cina, Jepang, India dan Korea Selatan dan disebarkan dalam buku dan jurnal internasional (Dissayanake, 1988; Dissayanake, 2004; Gunaratne, 2009). Dari 27 teori public relations, misalnya, tidak ada satu pun teori dalam perspektif Indonesia (Kriyantono, 2014). Yang menarik, keberhasilan memunculkan kajian teoritis dalam perspektif lokal di Cina, Jepang, India dan Korea Selatan berkorelasi dengan banyaknya jumlah publikasi ilmiah, yakni menjadi empat besar negara Asia terbanyak jumlah publikasi jurnal internasional (Pratomo, 2015).
Karya ilmiah berbasis kearifan lokal membuktikan bahwa Asia memiliki potensi daya saing di level dunia. Cina, Jepang dan India juga masuk 10 besar dunia untuk jumlah karya ilmiah yang terbit di jurnal internasional bereputasi (terindeks scopus). Kesepuluh besar ini adalah Amerika Seriikat (537 ribu); Cina (392 ribu); Inggris (152 ribu); Jerman (143 ribu); Jepang (118 ribu); Prancis (102 ribu); India (98 ribu); Italia (85 ribu); Kanada (84 ribu); dan Spanyol (76 ribu).
Potensi perlunya publikasi internasional di atas, belum diikuti jumlah publikasi ilmiah dosen di Indonesia. Pada 2014, Indonesia masih kalah dengan Hongkong, yang hanya sebuah kota di Cina. Di antara negara Asia Tenggara pun, Indonesia masih kalah dengan Malaysia, Singapura dan Thailand. Indonesia mempublikasikan 5.665 artikel, Malaysia 25.883 (400% lebih banyak) (Pratomo, 2015).
Kendala dan Solusi Publikasi Internasional
Bahasa Inggris adalah kendala yang paling banyak dirasakan para dosen. Perlu solusi agar universitas menyediakan departemen khusus yang membantu dosen terkait English Academic Writing, seperti penerjemahan, secara gratis.
Kendala lain adalah ketersediaan waktu yang sedikit untuk menulis dan melakukan riset karena beban kerja yang tinggi, yakni sangat tersita untuk mengajar dengan jumlah mahasiswa yang banyak, membimbing skripsi, tesis atau disertasi, membimbing magang, melakukan pekerjaan administrasi hingga tugas-tugas struktural. Riset adalah bahan material pokok dari aktivitas menulis publikasi. Tanpa riset, sulit mendapatkan bahan material yang valid dan update (quality of the publication reflects the quality of the research).
Sebagai contoh, Grunig, Grunig & Dozier (2002) membutuhkan waktu 15 tahun dan membutuhkan 327 organisasi sebagai objek di tiga Negara (AS, Inggris, dan Kanada), untuk dapat menghasilkan teori baru public relations (Teori Excellent).
Minimnya dana riset mempengaruhi keluasan riset untuk menghasilkan generalisasi data. Program hibah yang mensyaratkan gelar akademik doktor atau lektor kepala untuk menjadi ketua (penulis pertama), juga turut menjadi kendala. Dalam ilmu sosial, situasi ini makin diperparah oleh faktor eksternal, yaitu sulitnya mencari responden yang bersedia. Meskipun sudah ada UU Keterbukaan Informasi Publik yang mengatur jenis-jenis informasi yang harus dibuka untuk publik dan juga ada aturan etika riset tentang anonimitas responden, banyak lembaga pemerintah dan swasta sulit membuka diri sebagai sumber data.
Terbatasnya waktu, tenaga, dan biaya mengakibatkan tidak sedikit riset lebih berorientasi ‘membuat laporan’ dan ‘tambah modal’ bukan ‘membuat publikasi jurnal internasional’. Perlu kebijakan pemerintah agar lembaga pemerintah dan swasta bersedia mendukung kegiatan riset dari kampus.
Kendala lain adalah teknik penulisan, termasuk logika berpikir dan teknik referencing standar jurnal reputasi. Negara Barat mendominasi penyebarluasan ilmu pengetahuan, yakni penguasaan Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional dan teknologi komunikasi untuk diseminasi ilmu dan bisnis pendidikan (melalui scopus atau Thompson).
Biaya juga menjadi kendala publikasi internasional, baik itu untuk proses penerjemahan maupun biaya publikasi. Memang terdapat jurnal terindeks scopus yang gratis (Open Access System), tetapi, persaingannya memang lebih sulit. Karena itu, banyak dosen yang memilih jurnal lain yang terindeks scopus tetapi berbayar.
Kendala lain, yakni kurangnya jurnal yang memiliki reputasi terakreditasi nasional dan internasional. Kenyataan inilah seharusnya mendapat perhatian lebih serius dari Kemenristekdikti, mendorong program studi mengelola dan menerbitkan jurnal bereputasi. Setidaknya baru delapan jurnal Indonesia yang masuk kategori jurnal bereputasi karena telah terindeks Scopus. Kementerian dan perguruan tinggi perlu memberikan ketersediaan fasilitas pendukung mendorong publikasi. Dosen pun perlu meningkatkan motivasi meningkatkan kualitas diri.
Selain kendala-kendala tersebut, ada satu hal yang paling mendasar yang harus kita akui secara terbuka, yaitu, belum kuatnya keinginan kita untuk menggali kajian ilmu berbasis kearifan lokal. Sudah banyak master dan doktor Indonesia lulusan luar negeri, tetapi, masih cenderung mengaji fenomena berdasarkan teori-teori perspektif Barat. Ditambah lagi, tidak sedikit kalangan akademik yang masih mendewa-dewakan literatur Barat dan meremehkan literatur kolega sendiri. Tidak sedikit literatur yang dibuat penulis Indonesia yang sudah dapat dikategorikan baik. Apalagi, sebuah kajian teoritis Barat tidak secara otomatis sesuai sepenuhnya dengan konteks sosial budaya Timur.
Ayo, kita ikat ilmu melalui tulisan ilmiah terpublikasi internasional!